Sabtu, 24 September 2011

Berita : Potret Guru di SLB


Potret Guru di Sekolah Luar Biasa
Menguras Energi, tapi Menentramkan Batin
 Padang Ekspres • Senin, 02/05/2011 11:31 WIB • eka rianto • 449 klik
Bisa mandiri: Rida Hayani (kanan) bersama anak didiknya di dalam kelas.
Lihat saja, pelamar formasi guru pada penerimaan CPNS membeludak setiap tahun.  Namun begitu, tak demikian dengan guru untuk siswa berkebutuhan khusus. Hanya sedikit orang yang mau mengabdikan diri mendidik anak-anak cacat. Yuliani dan Rida Hayani, adalah  di antara yang sedikit itu. Keduanya telah mengabdi di sekolah berkebutuhan khusus sejak puluhan tahun silam.

Tidak terbayangkan oleh Yuliani menjadi guru. Apalagi, guru bagi anak berkebutuhan khusus. Sudah 21 tahun ia mengabdikan diri mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, seperti tunarungu, tuna-aksara, tunagrahita dan autis.



Sejak diangkat pada tahun 1990, dia memilih jalan hidupnya di profesi yang jarang dilirik orang. Panggilan jiwalah yang membuat ibu empat anak ini bertahan dengan pekerjaan mulia itu. “Alasan pertama yang muncul dalam benak saya adalah rasa kasihan. Padahal, saya tidak memiliki pengalaman mendidik anak-anak cacat itu. Karena itu, saat masuk perguruan tinggi, saya mengambil program sarjana pendidikan luar biasa,” jelasnya.


Setelah meraih gelar sarjana, dia langsung mendaftar menjadi guru luar biasa (LB) di sekolah LB Wacana Asih di Alanglaweh. Tak terasa, 21 tahun sudah dia mendidik anak-anak itu. Beragam suka duka dilaluinya dari anak didik, dari orangtua pelajar. Dari pengamatannya, kebanyakan orangtua tidak bisa menerima keadaan anaknya. Banyak anak yang berkebutuhan khusus ini tidak dididik dengan benar di rumah.


Orangtua malah mengurung anaknya dalam rumah. Berbagai alasan dilontarkan; malu hingga tidak ada waktu mengurus menjadi alasan. Padahal jika dilatih dengan sabar, anak seperti itu bisa juga mengurus diri mereka sendiri. “Orangtua mereka yang membuat anak-anak itu tidak bisa berkembang dan malah makin susah diasuh. Seharusnya, anak seperti itu perlu dididik agar bisa merawat diri mereka sendiri,” ujarnya.


Pada penderita tunagrahita (mental) misalnya. Mereka harus diajarkan menjadi diri sendiri. Didikan meliputi menyapu, mencuci piring, makan sendiri, bahkan belajar akademik.


Pemahaman seperti itu yang sulit diterima orangtua. Mereka selalu beralasan sibuk sehingga tidak bisa mengantar jemput anak mereka ke sekolah. Padahal, disitulah bentuk pengorbanan dan ketulusan orangtua pada anaknya. Baginya, mendidik anak berkebutuhan khusus ini tidak susah, yang perlu diberikan adalah perhatian.


“Contoh saja pada anak tunarungu. Kalau kita sabar dan memperhatikan mereka, anak cacat pada pendengaran itu bisa berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat atau bahasa tulis,” jelasnya.


Mengurus anak berkebutuhan khusus, tentu perhatian Kepala Sekolah Wacana Asih harus terkuras pada anak-anak itu. Tak jarang, anak kandung dan suami pun terabaikan. Meskipun begitu, wanita ini merasa bersyukur memiliki keluarga yang bisa mengerti profesinya. “Suami dan anak-anak sudah paham saja dengan kesibukan saya. Sampai saat ini tidak ada masalah di keluarga jika saya terlalu sibuk mendidik anak berkebutuhan khusus ini,” imbuhnya.


Di Hari Pendidikan Senin ini, dia berharap masyarakat tidak memandang negatif anak berkebutuhan khusus. Dia melihat masyarakat belum bisa menerima, terutama jika ada mereka yang sudah bisa sekolah di sekolah umum seperti di SMK.


Dari pengalamannya, ketelatenan dan ketekunan siswa yang memiliki kebutuhan khusus ini melebihi siswa umum yang normal. Ada beberapa siswanya yang telah berhasil meraih prestasi di SMKN 6 Padang dengan kemampuan menjahitnya melebihi siswa normal, bahkan menjadi mahasiswa undangan di UNP.


Dia juga berharap pemerintah memberikan fasilitas lebih lengkap pada sekolah-sekolah yang memiliki label LB ini. Seperti menyediakan lahan atau alat peraga untuk mengasah keterampilan mereka.


Begitu juga Rida Hayani. Guru berusia 34 tahun ini, sudah 13 tahun mengabdikan diri mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Ditanya alasannya tertarik mengabdikan diri di SLB, Rida sepertinya tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Tapi dia masih ingat awal ketertarikannya pada anak SLB ini. Sewaktu masih sekolah di kampungnya, dia aktif di organisasi pramuka. Setiap tahun, dia mengikuti Jambore yang juga mengikutsertakan anak-anak cacat. Sejak itulah dia tertarik. Tamat SMA, wanita asal Payakumbuh ini mencari informasi untuk bisa kuliah di bidang pendidikan luar biasa dan memutuskan masuk UNP pada 1994.


Sewaktu kuliah dia telah menyambi sebagai tenaga pengajar di Yayasan Wacana Asih Padang. Bentuk totalitasnya, ia ditunjuk sebagai pembuat naskah soal UN bagi siswa berkebutuhan khusus.


Tidak itu saja, pada tahun 2010, wanita ini terpilih sebagai guru teladan dan favorit sehingga semangatnya dan rekan-rekannya sesama pendidik LB semakin terpacu. Beberapa buku pelajaran telah dibuatnya sebagai rasa tanggung jawab pada anak-anak itu.
Setiap hari, dia mendapatkan pengalaman menarik. “Pengalaman pertama saat anak didiknya diantarkan pertama kali oleh orangtua mereka ke sekolah. Kebanyakan anak itu tidak mau dan menangis karena berada di lingkungan baru. Tak jarang anak itu sengaja memuntahkan makanan yang telah dimakannya sehingga pakaian saya kotor. Tapi di saat itulah keseriusan sang pendidik untuk mengayomi anak-anak seperti itu diuji,” jelasnya.


“Kami boleh marah tapi tidak marah secara fisik. Kami beri pengertian anak-anak itu kalau hal demikian adalah salah dan tak boleh diulangi. Dengan memberi perhatian pada mereka, anak-anak itu akan dekat pada kita dibandingkan orangtuanya,” ujarnya.


Sambil mengelus rambut seorang penderita tunagrahita, gur muda itu menjelaskan, hal utama yang perlu diberikan pada anak-anak adalah perhatian dan kasih sayang. Jika mereka sudah nyaman, maka pendidikan akan diterima anak tersebut.


Tujuan pendidikan LB ini adalah membuat anak cacat bisa mandiri, tidak bergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban keluarga.
Ketua Yayasan Wacana Asih, MH Thamrin menjelaskan, guru yang mengajar di sekolah LB harus memiliki keteguhan hati dan kesabaran dalam mendidik. Guru ini tidak boleh berbuat kasar karena akan berdampak buruk bagi anak didik. Jika marah, harus disampaikan dengan baik sehinga anak LB itu merasa bersalah dan tidak mau mengulangi kesalahan yang sama.


Mantan dosen pendidikan luar biasa (PLB) UNP ini menilai, minat masyarakat untuk serius membantu pendidikan anak-anak LB ini masih kurang. Sampai saat ini anggapan masyarakat melihat anak semacam itu masih negatif sehingga mengganggu pendidikan yang diberikan.


Untuk pemerintah, perhatian pada SLB mulai terlihat. Telah diberikan dana BOS dan beasiswa seperti Bazda atau lainnya. Pemko telah membantu menyediakan gedung sekolah bagi Yayasan Wacana Asih ini untuk dijadikan sekolah yang lebih besar.


“Jumlah guru di sini 24 orang dengan 120 siswa baik SD hingga SMA. Jumlah itu masih terasa kurang karena anak-anak ini tidak bisa dididik seperti anak normal,” imbuhnya.


Ia mengaku minat anak muda menjadi guru SLB sangat minim. Tak heran, hampir di semua SLB di Sumbar mengalami kekurangan guru. (***)http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=2936

Tidak ada komentar:

Posting Komentar